Definisi dan Pengertian Kesadaran Agama

Definisi dan Pengertian Kesadaran Agama

Kesadaran beragama adalah rasa keagamaan, pengalaman ketuhanan, keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan yang terorganisasi dalam sikap mental dari kepribadian. Karena agama melibatkan seluruh fungsi jiwa raga manusia maka kesadaran beragama pun mencakup aspek-aspek kognitif dan psikomotorik.1

Kesadaran diri merupakan kondisi dari hasil proses mengenai motivasi, pilihan dan kepribadian yang berpengaruh terhadap penilaian, keputusan, dan interaksi dengan orang lain.2

Dalam Canbridge International Dictionary Of English (1995) ada sejumlah definisi tentang kesadaran. Kesadaran diartikan sebagai kondisi terjaga atau mampu mengerti apa yang sedang terjadi ( the condition of being awake or able to understand what is happening).3

Kesadaran beragama merupakan bagian atau segi yang hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat diuji melalui introspeksi atau dapat dikatakan bahwa ia adalah aspek mental dan aktivitas ( Zakiah Daradjad, 1990: 3-4). Jalaludin (2007: 106) menyatakan bahwa kesadaran orang untuk beragama merupakan kemantapan jiwa seseorang untuk memberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan mereka. Pada kondisi ini, sikap keberagamaan orang sulit untuk diubah, karena sudah berdasarkan pertimbangan dan pemikiran yang matang. Sedangkan menurut Abdul Aziz Ahyadi (1988:45), kesadaran beragama meliputi rasa keagamaan, pengalaman ketuhanan, keimanan, sikap, dan tingkah laku keagamaan, yang terorganisasi dalam sistem mental dari kepribadian. Keadaan ini dapat dilihat melalui sikap keberagamaan yang terdefernisasi yang baik, motivasi kehidupan beragama yang dinamis, pandangan hiduup yang komprehansif, semangat pencarian dan pengabdiannya kepada Tuhan, juga melalui pelaksanaan ajaran agama yang konsisten, misalnya dalam melaksanakan shalat, puasa, dan sebagainya ( Abdul Aziz, 1988: 57).4

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kesadaran baragama merupakan sesuatu yang terasa, dapat diuji melalui introspeksi dan keterdekatan dengan sesuatu yang lebih tinggi dari segalanya, yaitu Tuhan.

Kesadaran beragama merupakan dasar dan arah dari kesiapan seseorang mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan, dan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang datang dari luar. Kesadaran akan norma-norma agama berarti individu menghayati, menginternalisasi, dan mengintegrasikan norma tersebut kedalam diri pribadinya. Penggambaran tentang kemantapan kesadaran beragama atau religius tidak dapat terlepas dari kriteria kematangan kepribadian. Kesadaran beragama yang mantap hanya terdapat pada orang yang memiliki kepribadian yang matang, akan tetapi kepribadian yang matang belum tentu disertai dengan kesadaran beragama yang mantap.

Kesadaran yang mantap merupakan suatu disposisi dinamis dari sistem mental yang terbentuk melalui pengalaman serta diolah dalam kepribadian untuk mengadakan tanggapan yang tepat konsepsi pandangan hidup, penyesuian diri dan bertingkah laku. Kesadaran beragama merupakan dasar dan arah dari kesiapan seseorang mengadakan tanggapan, reaksi, pengolahan dan penyesuaian diri terhadap rangsangan yang datang dari dunia luar. Kepribadian yang tidak matangmenunjukkan kurangnya pengendalian terhadap dorongan biologis, keinginan, aspirasi, dan hayalan-hayalan. Kepribadian yang tidak matang kurang mampu melihat dirinya sendiri, sehingga perilakunya kurang memperhitungkan kemampuan diri dan keadaan lingkungan sekitarnya.

Pengertian kesadaran agama adalah bagian segi agama yang hadir (terasa) dalam pikiran yang merupakan aspek mental dan aktivitas agama.

Kesadaran diri merupakan kondisi dari hasil proses mengenai motivasi, pilihan dan kepribadian yang berpengaruh terhadap penilain, keputusan, dan interaksi dengan orang lain.

Kesadarn beragama dalam tulisan ini meliputi rasa keagamaan, pengalaman ke-Tuhanan , ke imanan, sikap dan tingkah laku keagaman, yang terorganisasi dalam sistem mental darikepribadian. Karena agama melibatkan seluruh fungsi jiwa raga manusia, maka kesdaran beragamapun mencapai aspek-aspek afektif, konatif, kognitif dan motorik. Keterlibatan fungsi afektif dan konatif terlihat didalam pengalaman ke-Tuhanan, rasa keagamaan dan rindu kepada tuhan. Aspek kognitif nampak dalam keimanan dan kepercayaan. Sedangkan keterlibatan fungsi motorik nampak dalam perbuatan dan gerakan tingkah laku dan keagamaan. Dalam kehidupan sehari-hari, aspek-aspek trsebut sukar di pisah-pisahkan karena merupakan suatu sistem kesadaran beragama yang utuh dalam kepribadian seseorang.

Kesadaran beragama merupakan bagian atau segi yang hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat di uji melalui intropeksi atau dapat dikatakan bahwa ia adalah aspek mental dan aktifitas agama.

Jalaludin (2007:106) menyatakan bahwa kesadaran orang untuk beragama merupaakan kemantapan jiwa seseorang untuk memberikan gambaran tentang bagaimana sikap keberagamaan mereka. Pada kondisi ini, sikap keberagamaan orang sulit untuk diubah, karena sudah berdasarkan pertimbangan dan pemikiran yang matang. Sedangkan menurut Abdul Azia Ahyadi (1988:45), kesadaran beragama meliputi rasa keagamaan, pengalaman ketuhanan, keimanan, sikap dan tingkah laku keagamaan, yang terorganisasi dalam sistem mental dari kepribadian. Keadaan ini dapat dilihat melalui sikap keberagamaan yang terdefernisasi yang baik, motivasi kehidupan beragama yang dinamis, pandangan hidup yang komprehensif, semangat pencarian dan pengabdiannya kepada tuhan, juga melalui pelaksanaan ajaran agama yang konsisten, misalnya dalam melaksanakan sholat, puasa dan sebagainya (Abdul Aziz, 1988:57)


  • Tingkatan-tingkatan Kesadaran beragama

a) Kesadaran beragama pada masa anak-anak
Pada waktu lahir, anak-anak belum beragama. Ia baru memiliki potensi atau fitrah untuk berkembang menjadi manusia beragama. Bayi belum mempunyai kesadaran beragama, tetapi telah memiliki potensi kejiwaan dan dasar-dasar kehidupan ber-Tuhan. Selaras dengan perkembangan kepribadian, kesadaran beragama seseorang juga menunjukkan adanya kontinuitas atau berlanjut dan tidak terputus-putus. Walaupun perkembangan kesadaran itu berlanjut,namun setiap fase perkembangan menunjukkan adanya ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri umum kesadaran beragama pada masa anak-anak ialah :

Pengalaman ke-Tuhanan yang lebih bersifat efektif, emosional dan egosentris.
Pengalaman ke-Tuhanan dipelajari oleh anak melalui hubungan emosional secara otomatis dengan orang tuanya. Hubungan emosional yang diwarnai kasih sayang dan kemesraan antara orang tua dan anak menimbulkan proses identifikasi, yaitu proses penghayatan dan peniruan secara tidak sepenuhnya di sadari oleh si anak terhadap sikap dan perilaku orang tua.

ØKeimanannya bersifat magis dan anthropomorphis yang berkembang menuju ke fase realistik.
Keimanan sang anak kepada Tuhan belum merupakan suatu keyakinan sebagai hasil pemikiran yang obyektif akan tetapi lebih merupakan bagian dari kehidupan alam perasaan yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwanya akan kasih sayang, rasa aman dan kenikmatan jasmaniyah. Walaupun sekitar umur delapan tahun sikap anak makin tertuju ke dunia luar, namun hubungan anak dengan Tuhan masih lebih merupakan hubungan emosional antara kebutuhan dirinya dengan sesuatu yang ghaib dan di bayangkan secara konkret.

Ø Peribadatan anak masih merupakan tiruan dan kebiasaan yang kurang di hayati.
Pada umur 6-12 tahun perhatian ankan yang tadinya lebih tertuju kepada dirinya sendiri dan bersifat egosentris mulai tertuju pada dunia luar terutama perilaku orang-orang di sekitarnya. Ia berusaha untuk menjadi makhluk sosial yang mematuhi aturan-aturan, tata krama, sopan santun dan tata cara bertingkah laku yang sesuai denga lingkungan rumah dan sekolahnya.[5]

b) Kesadaran beragama pada masa remaja
Kesadaran agama atau semangat pada masa remaja itu, mulai dengan cenderungnya remaja kepada meninjau dan meneliti kembali caranya beragama dimasa kecil dulu. Kepercayaan tanpa pengertian yang diterimanya waktu kecil itu, tidak memuaskan lagi, patuh dan tunduk kepada ajaran tanpa komentar atau alasan tidak lagi menggembirakannya. Jika ia misalnya dilarang melakukan suatu karena agama, ia tidak puas,kalau alasannya hanya dalil-dalil dan hukum-hukum mutlakyang diambilkan dari ayat-ayat kitab suci atau hadis-hadis nabi. Mereka ingin menjadikan agama,sebagai suatu lapangan baru untuk membuktikan pribadinya, karenanya ia tidak mau lagi beragama sekedar ikut-ikutan saja.[6]


  • Ciri-ciri kesadaran beragama yang menonjol pada masa remaja ialah:

Ø Pengalaman ke-Tuhanannya makin bersifat individual
Remaja makin mengenal dirinya. Ia menemukan “diri”nya bukan hanya sekadar badan jasmaniah, tetapi merupakan suatu kehidupan psikologis rohaniah berupa “pribadi”. Remaja bersifat kritis terhadap dirinya sendiri dan segala sesuatu yang menjadi milik pribadinya.ia menemukan pribadinya terpisah dari pribadi-pribadi lain dan terpisah pula dari alam sekitarnya. Pemikiran, perasaan, keinginan, cita-cita dan kehidupan psikologis rohaniah lainnya adalah milik pribadinya. Penghayatan penemuan diri pribadi ini dinamakan “individuasi”, yaitu adanya garis pemisah yang tegas antara diri sendiri dan bukan diri sendiri

Penemuan diri pribadinya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri menimbulkan rasa kesepian dan rasa terpisah dari pribadi lainnya. Secara formal dapat menambah kedalaman alam perasaan, akan tetapi sekaligus menjadi bertambah labil.

Keadaan labil yang menekan menyebabkan si remaja mencari ketentraman dan pegangan hidup. Penghayatan kesepian, perasaan tidak berdaya menjadikan si remaja berpaling kepada Tuhan sebagai satu-satunya pegangan hidup, pelindung dan penunjuk jalan dalam goncangan psikologis yang dialaminya.

Ø Keimananya makin menuju realitas yang sebenarnya.
Teratahnya perhatian ke dunia dalam menimbulkan kecenderungan yang besar untuk merenungkan, mengkritik, dan menilai diri sendiri. Intropeksi diri ini dapat menimbulkan kesibukan untuk bertanya-tanya pada orang lain tentang dirinya tentang keimanan, dan kehidupan agamnya.

Dengan berkembangnya kemampuan berpikir secara abstrak,si remaja mampu pula menerima dan memahami ajaran agama yang berhubungan dengan masalah ghaib, abstrak dan rohaniah, seperti kehidupan alam kubur, hari kebangkitan dan lain-lain. Penggambaran anthropomorphik atau memanusiakan Tuhan dan sifat-sifat-Nya,lambat laun di ganti dengan pemikiran yang lebih sesuai dengan realitas.

 Peribadata mulai disertai penghayatan yang tulus

Pada masa ini remaja mulai mendidik dirinya sendiri. Ia berusaha mendisiplinkan diri sesuai dengan norma dan ajaran yang dihayatinya sebagai ikatan dari dalam diri pribadinya, karena norma itu telah diakui dan dirasakan sebagai milik dan bagian pribadinya. Esensi agama adalah pengalaman kehadiran Tuhan, kekuatan yang tertinggi. Dalam usaha mengharmoniskan hidupnya dengan tuhan, manusiabertingkah lakusesuai dengan kehendak Tuhan dan tingkah laku ini adalah tingkah laku bermoral.


  • Faktor-faktor yang mempengaruhi kesadarn beragama

a) Faktor internal
Menurut fitrahnya, manusia adalah makhluk beragama atau memilki potensi beragama, mempunyai keimann kepada Tuhan. Dalam perkembangannya, fitrah beragama ini ada yang berjalan secara alamiah dan ada yang mendapat bimbingan dari agama sehingga fitrahnya itu berkembang secara benar sesuai tuntunan agama.

b) Faktor eksternal
Perkembangan kesadarn beragama akan dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang memberikan bimbingan, pengajaran dan pelatihan yang memungkinkan kesadaran beragama itu berkembang dengan baik. Faktor lingkungan tersebut antara lain:

1) Lingkungan keluarga
Keluarga mempunyai peran sebagai pusat latihan atau pembelajaran anak untuk memperoleh pemahaman tentang nilai-nilai agama dan kemampuannya dalam mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari

2) Lingkungan sekolah
Dalam mengembangkan kesadaran beragam siswa, peranan sekolah sangat penting, peranan ini terkait dengan pengembangan pemahaman, pembiasaan mengimplementasikan ajaran-ajaran agama, serta sikap apresiatif terhadap ajaran atau hukum-hukum agama.

3) Lingkungan masyarakat
Lingkungan masyarakat ini maksudnya adalah hubungan atau interaksi sosial dan sosiokultular yang potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah atau kesadaran beragama seseorang.[8]

Pustaka : Haji Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: Rajawali Press, 2012, halaman 16



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Back To Top